Kota Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur, Indonesia sekaligus menjadi kota metropolitan terbesar di provinsi tersebut. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta.
Kota Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan
pendidikan di Jawa Timur serta wilayah Indonesia bagian timur. Kota ini
terletak 796 km sebelah timur Jakarta, atau 415 km sebelah barat laut Denpasar, Bali. Surabaya terletak di tepi pantai utara Pulau Jawa dan berhadapan dengan Selat Madura serta Laut Jawa.
Surabaya memiliki luas sekitar 333,063 km² dengan penduduknya
berjumlah 2.909.257 jiwa (2015). Daerah metropolitan Surabaya yaitu Gerbangkertosusila yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, adalah kawasan metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. Surabaya dilayani oleh sebuah bandar udara, yakni Bandar Udara Internasional Juanda, serta dua pelabuhan, yakni Pelabuhan Tanjung Perak dan Pelabuhan Ujung.
Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan Arek-Arek Suroboyo (Pemuda-Pemuda Surabaya) untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah.
Sejarah
Etimologi
Kata Surabaya (bahasa Jawa Kuna: Śūrabhaya) sering diartikan secara filosofis sebagai lambang perjuangan antara darat dan air. Selain itu, dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan sura / suro (ikan hiu) dan baya / boyo (buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa terbentuknya nama "Surabaya" muncul setelah terjadinya pertempuran tersebut.
Asal-usul Surabaya
Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I, berangka 1358 M. Dalam prasasti tersebut terungkap bahwa Surabaya (Churabhaya) masih berupa desa di tepi sungai Brantas
dan juga sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang
daerah aliran sungai Brantas. Surabaya juga tercantum dalam pujasastra Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Empu Prapañca yang bercerita tentang perjalanan pesiar Raja Hayam Wuruk pada tahun 1365 M dalam pupuh XVII (bait ke-5, baris terakhir).
Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka
tahun 1358 M (Prasasti Trowulan) dan 1365 M (Nagarakretagama), para ahli
menduga bahwa wilayah Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tersebut.
Menurut pendapat budayawan Surabaya berkebangsaan Jerman Von Faber, wilayah Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat permukiman baru bagi para prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan di tahun 1270 M. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa Surabaya dahulu merupakan sebuah daerah yang bernama Ujung Galuh.
Versi lain mengatakan bahwa Surabaya berasal dari cerita tentang
perkelahian hidup dan mati antara Adipati Jayengrono dan Sawunggaling.
Konon setelah mengalahkan pasukan Kekaisaran Mongol utusan Kubilai Khan atau yang dikenal dengan pasukan Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah keraton
di daerah Ujung Galuh dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin
daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu buaya, Jayengrono semakin
kuat dan mandiri sehingga mengancam kedaulatan Kerajaan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono, maka diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu sura.
Adu kesaktian dilakukan di pinggir Kali Mas,
di wilayah Peneleh. Perkelahian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh
malam dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal setelah
kehilangan tenaga.
Nama Śūrabhaya sendiri dikukuhkan sebagai nama resmi pada abad ke-14 oleh penguasa Ujung Galuh, Arya Lêmbu Sora.
Era pra kolonial
Wilayah Surabaya dahulu merupakan gerbang utama untuk memasuki ibu kota Kerajaan Majapahit dari arah lautan, yakni di muara Kali Mas. Bahkan hari jadi kota Surabaya ditetapkan yaitu pada tanggal 31 Mei 1293.
Hari itu sebenarnya merupakan hari kemenangan pasukan Majapahit yang
dipimpin Raden Wijaya terhadap serangan pasukan Mongol. Pasukan Mongol
yang datang dari laut digambarkan sebagai SURA (ikan hiu / berani) dan
pasukan Raden Wijaya yang datang dari darat digambarkan sebagai BAYA
(buaya / bahaya), jadi secara harfiah diartikan berani menghadapi bahaya yang datang mengancam. Maka hari kemenangan itu diperingati sebagai hari jadi Surabaya.
Pada abad ke-15, Islam mulai menyebar dengan pesat di daerah Surabaya. Salah satu anggota Walisongo, Sunan Ampel, mendirikan masjid dan pesantren di wilayah Ampel. Tahun 1530, Surabaya menjadi bagian dari Kerajaan Demak.
Menyusul runtuhnya Demak, Surabaya menjadi sasaran penaklukan Kesultanan Mataram, diserbu Panembahan Senopati tahun 1598, diserang besar-besaran oleh Panembahan Seda ing Krapyak tahun 1610, dan diserang Sultan Agung tahun 1614. Pemblokan aliran sungai Brantas oleh Sultan Agung akhirnya memaksa Surabaya menyerah. Suatu tulisan VOC tahun 1620 menggambarkan Surabaya sebagai wilayah yang kaya dan berkuasa. Panjang lingkarannya sekitar 5 mijlen Belanda
(sekitar 37 km), dikelilingi kanal dan diperkuat meriam. Tahun
tersebut, untuk melawan Mataram, tentaranya sebesar 30.000 prajurit.
Tahun 1675, Trunojoyo dari Madura merebut Surabaya, namun akhirnya didepak VOC pada tahun 1677.
Dalam perjanjian antara Pakubuwono II dan VOC pada tanggal 11 November 1743, Surabaya diserahkan penguasaannya kepada VOC. Gedung pusat pemerintahan Karesidenan Surabaya berada di mulut sebelah barat Jembatan Merah. Jembatan inilah yang membatasi permukiman orang Eropa (Europeesche Wijk) waktu itu, yang ada di sebelah barat jembatan dengan tempat permukiman orang Tionghoa; Melayu; Arab; dan sebagainya (Vremde Oosterlingen),
yang ada di sebelah timur jembatan tersebut. Hingga tahun 1900-an,
pusat kota Surabaya hanya berkisar di sekitar Jembatan Merah saja.
Era kolonial
Pada masa Hindia Belanda, Surabaya berstatus sebagai ibu kota Karesidenan Surabaya, yang wilayahnya juga mencakup daerah yang kini wilayah Kabupaten Gresik; Sidoarjo; Mojokerto; dan Jombang. Pada tahun 1905, Surabaya mendapat status kotamadya (gemeente). Pada tahun 1926,
Surabaya ditetapkan sebagai ibu kota provinsi Jawa Timur. Sejak saat
itu Surabaya berkembang menjadi kota modern terbesar kedua di Hindia
Belanda setelah Batavia.
Sebelum tahun 1900, pusat kota Surabaya hanya berkisar di sekitar Jembatan Merah saja. Pada tahun 1910, fasilitas pelabuhan modern dibangun di Surabaya, yang kini dikenal dengan nama Pelabuhan Tanjung Perak. Sampai tahun 1920-an, tumbuh pemukiman baru seperti daerah Darmo; Gubeng; Sawahan; dan Ketabang.
Tanggal 3 Februari 1942, Jepang menjatuhkan bom di Surabaya. Pada bulan Maret 1942, Jepang berhasil merebut Surabaya. Surabaya kemudian menjadi sasaran serangan udara tentara Sekutu pada tanggal 17 Mei 1944.
Era kemerdekaan
Pertempuran mempertahankan Surabaya
Setelah Perang Dunia II usai, pada 25 Oktober 1945, 6.000 pasukan Inggris-India yaitu Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby mendarat di Surabaya dengan perintah utama melucuti tentara Jepang, tentara dan milisi
Indonesia. Mereka juga bertugas mengurus bekas tawanan perang dan
memulangkan tentara Jepang. Pasukan Jepang menyerahkan semua senjata
mereka, tetapi milisi dan lebih dari 20.000 pasukan Indonesia menolak.
26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara R.M. Soerjo, Gubernur Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby
bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata
mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Philip Christison.
27 Oktober 1945,
jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan
selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan
milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan milisi
Indonesia menjadi marah ketika membaca selebaran ini dan menganggap
Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian pada tanggal 26 Oktober 1945.
28 Oktober 1945,
pasukan Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di Surabaya.
Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar
Presiden RI Soekarno
dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril
Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.
29 Oktober 1945, Presiden Soekarno; Wakil Presiden Mohammad Hatta; dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.
Pada siang hari, 30 Oktober 1945,
dicapai persetujuan yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan
Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah
diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik
mundur dari Surabaya secepatnya. Mayjen Hawthorn dan para pimpinan RI
tersebut meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta.
Pada sore hari, 30 Oktober 1945,
Brigjen Mallaby berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya
untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat mendekati pos
pasukan Inggris di gedung Internatio, dekat Jembatan Merah, mobil
Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung
gedung Internatio.
Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris
kompi D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas
untuk membubarkan para milisi. Para milisi mengira mereka diserang /
ditembaki tentara Inggris dari dalam gedung Internatio dan balas
menembak. Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat
ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan jatuh tepat di mobil
Brigjen Mallaby.
Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan
sopirnya tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya
ke markas besar pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby
tewas ditembak oleh milisi Indonesia.
Letjen Philip Christison marah besar mendengar kabar kematian Brigjen
Mallaby tersebut dan mengerahkan 24.000 pasukan tambahan untuk
menguasai Surabaya.
9 November 1945,
Inggris menyebarkan ultimatum agar semua senjata tentara Indonesia dan
milisi segera diserahkan ke tentara Inggris, tetapi ultimatum ini tidak
diindahkan.
10 November 1945,
Inggris mulai membom Surabaya dan perang sengit berlangsung terus
menerus selama 10 hari. Dua pesawat Inggris ditembak jatuh pasukan RI
dan salah seorang penumpang, Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds
terluka parah dan meninggal keesokan harinya.
20 November 1945,
Inggris berhasil menguasai Surabaya dengan korban ribuan orang prajurit
tewas. Lebih dari 20.000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk
Surabaya tewas. Seluruh kota Surabaya hancur lebur.
Pertempuran ini merupakan salah satu pertempuran paling berdarah yang
dialami pasukan Inggris pada dekade 1940-an. Pertempuran ini
menunjukkan kesungguhan bangsa Indonesia untuk mempertahankan
kemerdekaan dan mengusir penjajah.
Karena sengitnya pertempuran dan besarnya korban jiwa, setelah
pertempuran ini, jumlah pasukan Inggris di Indonesia mulai dikurangi
secara bertahap dan digantikan oleh pasukan Belanda. Pertempuran pada
tanggal 10 November 1945 tersebut hingga saat ini dikenang dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Era pasca kemerdekaan
Kota yang jalan utamanya dulu hampir berbentuk seperti pita dari
jembatan Wonokromo di sebelah Selatan menuju ke Jembatan Merah di
sebelah Utara sepanjang kurang lebih 13 km tersebut, di akhir tahun
1980-an mulai berubah total. Pertambahan penduduk dan urbanisasi yang
pesat, memaksa Surabaya untuk berkembang ke arah Timur dan Barat seperti
yang ada sekarang. Bertambahnya kendaraan bermotor, tumbuhnya industri
baru serta menjamurnya perumahan yang dikerjakan oleh perusahaan real estate
yang menempati pinggiran kota mengakibatkan tidak saja terjadi
kemacetan di tengah kota tapi juga tidak jarang terjadi pula di
pinggiran kota. Surabaya telah berkembang jauh dari kota yang relatif
kecil dan kumuh di akhir abad ke-19, menjadi kota metropolitan di akhir
abad ke-20 dan pada kurun abad ke-21 menjadi salah satu metropolitan
dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara. Kota yang pada kurun abad
ke-20 dan awal abad ke-21 dipandang panas dan kumuh ini juga berhasil
berubah menjadi salah satu kota metropolitan yang paling tertata di
Indonesia dengan kualitas udara terbersih.
Geografi
Surabaya secara geografis berada pada 07˚09`00“ – 07˚21`00“ Lintang
Selatan dan 112˚36`- 112˚54` Bujur Timur. Luas wilayah Surabaya meliputi
daratan dengan luas 333,063 km² dan lautan seluas 190,39 km².
Geologi
Kondisi geologi Kota Surabaya terdiri dari Daratan Alluvium; Formasi
Kabuh; Pucangan; Lidah; Madura; dan Sonde. Sedangkan untuk wilayah
perairan, Surabaya tidak berada pada jalur sesar aktif ataupun
berhadapan langsung dengan samudera, sehingga relatif aman dari bencana
alam. Berdasarkan kondisi geologi dan wilayah perairannya, Surabaya
dikategorikan ke dalam kawasan yang relatif aman terhadap bencana gempa
bumi maupun tanah amblesan sehingga pembangunan infrastruktur tidak
memerlukan rekayasa geoteknik yang dapat menelan biaya besar.
Topografi
Utara: | Selat Madura |
Selatan: | Kabupaten Sidoarjo |
Barat: | Kabupaten Gresik |
Timur: | Selat Madura |
Surabaya terletak di tepi pantai utara provinsi Jawa Timur. Wilayahnya berbatasan dengan Selat Madura di sebelah utara dan timur, Kabupaten Sidoarjo di sebelah selatan, serta Kabupaten Gresik
di sebelah barat. Sebagian besar wilayah Surabaya merupakan dataran
rendah yaitu 80,72% dengan ketinggian antara -0,5 – 5m SHVP atau 3 – 8 m
di atas permukaan laut, sedangkan sisanya merupakan daerah perbukitan
yang terletak di wilayah Surabaya Barat (12,77%) dan Surabaya Selatan
(6,52%). Di wilayah Surabaya Selatan terdapat 2 bukit landai yaitu di
daerah Lidah dan Gayungan yang ketinggiannya antara 25 – 50 m di atas
permukaan laut dan di wilayah Surabaya Barat memiliki kontur tanah
perbukitan yang bergelombang. Struktur tanah di Surabaya terdiri dari
tanah aluvial, hasil endapan sungai dan pantai, dan di bagian barat
terdapat perbukitan yang mengandung kapur tinggi. Di Surabaya terdapat
muara Kali Mas, yakni satu dari dua pecahan Sungai Brantas.
Kali Mas adalah salah satu dari tiga sungai utama yang membelah
sebagian wilayah Surabaya bersama dengan Kali Surabaya dan Kali
Wonokromo. Areal sawah dan tegalan terdapat di kawasan barat dan selatan
kota, sedangkan areal tambak berada di kawasan pesisir timur dan utara.
Iklim
Surabaya memiliki iklim tropis seperti kota besar di Indonesia pada umumnya di mana hanya ada dua musim dalam setahun yaitu musim hujan dan kemarau.
Curah hujan di Surabaya rata-rata 165,3 mm. Curah hujan tertinggi di
atas 200 mm terjadi pada kurun Januari hingga Maret dan November hingga
Desember. Suhu udara rata-rata di Surabaya berkisar antara 23,6 °C
hingga 33,8 °C.
Data iklim Surabaya | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Bulan | Jan | Feb | Mar | Apr | Mei | Jun | Jul | Agt | Sep | Okt | Nov | Des | Tahun |
Rata-rata tertinggi °C (°F) | 31.8 (89.2) |
31.5 (88.7) |
31.6 (88.9) |
31.4 (88.5) |
31.6 (88.9) |
31.2 (88.2) |
31.3 (88.3) |
30.1 (86.2) |
32.7 (90.9) |
33.4 (92.1) |
33.1 (91.6) |
31.9 (89.4) |
31.8 (89.2) |
Rata-rata terendah °C (°F) | 24.1 (75.4) |
24.2 (75.6) |
24.0 (75.2) |
24.8 (76.6) |
24.1 (75.4) |
23.5 (74.3) |
23.0 (73.4) |
22.5 (72.5) |
22.9 (73.2) |
23.7 (74.7) |
24.1 (75.4) |
23.8 (74.8) |
23.7 (74.7) |
Curah hujan mm (inci) | 327 (12.87) |
275 (10.83) |
283 (11.14) |
181 (7.13) |
159 (6.26) |
101 (3.98) |
22 (0.87) |
15 (0.59) |
17 (0.67) |
47 (1.85) |
105 (4.13) |
219 (8.62) |
1.751 (68,94) |
Rata-rata hari hujan | 17 | 18 | 19 | 15 | 13 | 11 | 7 | 3 | 4 | 5 | 12 | 23 | 147 |